Jumat, 27 November 2009

Surat hati Seorang Ibu

Wahai Anakku... inilah surat dari ibumu yang lemah, yang ditulis dengan penuh rasa malu setelah lama mengalami keraguan & kebimbangan. Aku pegang pena-nya berkali-kali lantas terhenti,dan aku letakkan lagi pena itu karena air mata berlinang berkali-kali yang disusul dengan rintihan hati.

Wahai Anakku..., sesudah perjalanan waktu yang panjang, kurasa engkau sudah dewasa dan memiliki akal sempurna maupun jiwa yang matang. Sedangkan aku punya hak atas dirimu, maka bacalah sepucuk surat ini, dan jika engkau tidak berkenan robek-robeklah sebagaimana engkau merobek-robek hatiku.
Wahai Anakku..., 25 tahun yang lalu adalah hari yang begitu membahagiakan hidupku. Ketika Dokter memberitahuku bahwa aku sedang hamil. Semua ibu tentu mengetahui makna ungkapan itu, yakni terhimpunnya kebahagiaan & kegembiraan, serta awal perjuangan seiring dengan adanya berbagai perubahan fisik maupun psikis. Sesudah berita gembira itu kuperoleh, dengan senang hati aku mengandungmu selama Sembilan bulan.

Aku berdiri, tidur, makan dan bernafas dengan susah payah. Namun, itu semua tidak menyebabkan surutnya cintaku padamu dan kebahagiaanku menyambut kehadiranmu. Bahkan, rasa cintaku dan kerinduanku padamu tumbuh subur dan berkembang hari demi hari. Aku mengandungmu dalam kondisi yang lemah dan bertambah lemah, payah dan bertambah payah. Aku sangat bahagia meski bobotmu semakin berat, padahal kehamilan itu sangat berat bagiku.

Wahai Anakku...., telah berlalu tahun demi tahun dari usiamu, & dirimu selalu kubawa dalam hatiku. Aku memandikanmu dengan kedua tanganku, kujadikan pangkuanku sebagai bantalmu, dan dadaku sebagai makananmu. Aku berjaga semalaman agar engkau bisa tertidur, aku susuri siang hariku dengan keletihan demi kebahagiaanmu. Dambaanku setiap hari adalah melihatmu tersenyum, & idamanku setiap saat adalah engkau memintaku sesuatu yang aku dapat melakukannya untukmu, itulah puncak kebahagiaanku.

Itulah hari-hari & malam yang kulalui sebagai pelayan yang tak pernah menyia-nyiakanmu sedikitpun, sebagai wanita yang menyusuimu tiada henti, & sebagai pekerja yang tak pernah putus asa hingga engkau tumbuh dewasa & menjadi seorang remaja. Dan mulailah Nampak tanda-tanda kedewasaanmu. Ketika itu pula aku kesana kemari mencarikan pasangan hidup yang kau inginkan. Lalu tibalah saat pernikahanmu. Denyut jantungku terasa berhenti & air mataku deras bercucuran karena gembira melihat hidup barumu & karena sedih berpisah denganmu.

Saat-saat yang berat telah lewat, namun engkau seolah bukan lagi anakku seperti yang kukenal selama ini. Sungguh, engkau telah mengabaikan diriku & tidak memperdulikan hak-hakku. Hari-hari berlalu tanpa kulihat dirimu & tidak kudengar suaramu. Engkau masa bodoh kepada ibu yang selama ini menjadi pelayan yang mengurusimu.

Wahai Anakku...., aku tidak meminta apapun selain posisikanlah diriku ini seperti kawan-kawanmu yang terdekat denganmu. Jadikanlah aku sebagai salah satu terminal hidupmu sehari-hari, sehingga aku dapat melihatmu walau hanya sekejap.

Wahai Anakku...., punggungku telah bengkok, anggota tubuhku telah gemetaran, beragam penyakit telah membuatku semakin ringkih, rasa sakit telah menghampiriku. Aku sudah merasa susah untuk berdiri maupun duduk, namun hatiku masih sayang padamu.

Andaikan ada seorang yang memuliakanmu sehari, tentu engkau akan memuji kebaikannya dan keelokan budinya. Padahal, ibumu ini telah memuliakanmu sepanjang hidupnya, namun engkau tak mau melihatnya & tak mau membalas kebaikannya. Ibumu telah menjadi pelayanmu dan telah mengurusmu bertahun-tahun, lantas manakah balas budi & hakku yang harus engkau tunaikan?sekeras itukah hatimu? Apakah hari-hari sibukmu telah menyita waktumu?

Wahai Anakku...., kurasakan kebahagiaan & kegembiraanku bertambah saat melihatmu hidup bahagia, karena engkau adalah buah hatiku. Apa salahku hingga engkau memusuhiku, tak suka melihatku, & merasa berat untuk mengunjungiku? Apakah aku pernah berbuat salah padamu atau pelayananku kurang memuaskanmu?

Jadikanlah aku seperti pelayan-pelayanmu yg kau beri upah. Curahkan setitik kasih sayangmu, ingatlah jasaku & berbuat baiklah. Sungguh Alloh amat menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Wahai Anakku..., aku sangat berharap bisa bersua denganmu. Aku tak ingin apapun selain itu. Biarkan aku melihat muramnya wajahmu & episode-episode kemarahanmu.

Wahai Anakku..., sisakan peluang di hatimu untuk berlemah lembut dengan seorang wanita tua renta, yang diliputi kerinduan & dirundung kesedihan ini. Engkau cucurkan air matanya, engkau bikin sedih hatinya & engkau putuskan hubunganmu dengannya. Aku tidak mengeluhkan kepedihanku & kesedihanku pada Alloh, karena jika aku adukan perkara ini ke atas awan & pintu gerbang langit sana, aku khawatir hukuman akan menimpamu, & musibah akan terjadi dalam rumah tanggamu, lantaran kedurhakaanmu. Tidak, aku tidak menginginkan itu. Engkau tetap menjadi buah hatiku, bunga hidupku & hiasan duniaku.

Camkanlah Wahai Anakku..., ketuaan mulai Nampak dalam belahan rambutmu. Tahun demi tahun akan berlalu, & engkau pasti akan menjadi tua renta, sedangkan setiap perbuatan pasti akan dibalas setimpal. Engkau akan menulis surat kepada anak-anakmu dengan cucuran air mata, sebagaimana yang aku tulis buatmu, & di sisi Alloh akan bertemu orang-orang yg berselisih, Wahai Anakku. Maka bertakwalah engkau kepada Alloh dengan memuliakan ibumu, Usaplah air matanya & hiburlah agar kesedihannya sirna.

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Al- Israa’ 23)

Tidak ada komentar: